10 ALASAN UNTUK TIDAK MEMUKUL ANAK ANDA
1. Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari (penerjemah: memukul dlm bab ini disebutkan sebagai spanking atau memukul bokong)
Ada sebuah cerita klasik mengenai seorang ibu yang meyakini bahwa memukul merupakan bagian penting dari disiplin. Sampai suatu hari ia mengamati putri kecilnya yang berusia 3 tahun memukul adik lelakinya yang berusia 1 tahun. Ketika ditanya putri kecilnya berkata, “Aku hanya pura pura menjadi ibu”. Ibu ini kemudian tidak pernah lagi memukul anak anaknya.
Anak anak suka sekali menirukan, terutama orang orang yang mereka sayangi dan hormati. Mereka menganggap bahwa tidak apa apa untuk melakukan apapun yang anda lakukan. Sebagai orang tua ingatlah bahwa anda sedang membesarkan seseorang yang juga akan menjadi ibu atau ayah, atau menjadi seorang suami atau istri kelak. Teknik disiplin yang sama dengan yang anda terapkan pada anak anak yang paling mungkin mereka gunakan untuk mendidik anak anak mereka nantinya. Keluarga merupakan sebuah pelatihan untuk mengajari anak bagaimana untuk menangani konflik. Penelitian menunjukkan bahwa anak dari keluarga yang suka memukul lebih mungkin untuk menggunakan cara kekerasan untuk menangani konflik ketika mereka dewasa kelak.
Memukul menunjukkan bahwa sah sah saja seseorang memukul orang lainnya, Terutama bagi orang yang lebih besar untuk memukul mereka yang lebih kecil. Dan bagi mereka yang kuat untuk memukul yang lebih lemah. Anak anak belajar bahwa ketika anda memiliki masalah maka anda akan menyelesaikannya dengan pukulan. Seorang anak yang tingkah lakunya dikendalikan dengan pukulan cenderung untuk menggunakan cara ini untuk berinteraksi dengan saudara yang lain, teman sebaya, dan pada akhirnya pasangan juga keturunan.
Memukul menunjukkan bahwa sah sah saja seseorang memukul orang lainnya, Terutama bagi orang yang lebih besar untuk memukul mereka yang lebih kecil. Dan bagi mereka yang kuat untuk memukul yang lebih lemah. Anak anak belajar bahwa ketika anda memiliki masalah maka anda akan menyelesaikannya dengan pukulan. Seorang anak yang tingkah lakunya dikendalikan dengan pukulan cenderung untuk menggunakan cara ini untuk berinteraksi dengan saudara yang lain, teman sebaya, dan pada akhirnya pasangan juga keturunan.
Jika anda katakan, “Saya tidak memukul anak saya dengan keras, juga tidak terlalu sering. Lebih banyak waktu yang saya habiskan untuk menunjukkan cinta dan kasih saying saya. Sesekali pukulan di pantat tidak akan apa apa”. Logika ini berlaku bagi beberapa anak namun pada anak anak lain pesan memukul akan terekam kuat. Anda mungkin punya rasio antara memeluk dan memukul 100:1 di rumah, tapi anda melupakan resiko bahwa anak anda akan mengingat dan terpengaruh oleh satu pukulan itu ketimbang 100 pelukan. Terutama jika pukulan itu dilayangkan ketika sedang dilanda marah atau perasaan ketidakadilan, yang mana terlalu sering terjadi.
Hukuman fisik menunjukkan bahwa tidak apa apa untuk melampiaskan kemarahan dengan pukulan atau memukul orang lain karena bersalah. Inilah mengapa perilaku orang tua menjadi kesan yang sangat mendalam seperti pukulan itu sendiri. Bagaimana mengendalikan dorongan untuk memukul seseorang (mengendalikan pukulan) adalah satu hal yang sedang anda coba ajarkan pada anak anda. Dengan memukul maka ajaran ini sudah disabotase. Dalam panduan memukul pantat biasanya diberikan peringatan untuk tidak memukul dalam keadaan marah. Jika panduan ini ditaati maka 99% pemukulan tidak akan terjadi, karena sekali orang tua telah menenangkan diri maka ia bisa mengatasi masalah dengan metode yang tepat.
VERBAL DAN EMOSIONAL “MEMUKUL”
Pukulan secara fisik bukanlah satu satunya untuk melakukan kekerasan. Segala sesuatu yang kita sebut hukuman fisik berkaitan dengan hukuman verbal/ emosional juga. Makian dan nama panggilan yang buruk juga dapat lebih membahayakan anak secara psikologis. Pelecehan secara emosional dapat terjadi dengan sangat halus dan bahkan menohok. Ancaman untuk memaksa seorang anak bekerjasama dapat menyentuh pada hal yang paling ditakutinya = ditinggalkan (“Kalau gak nurut nanti mama tinggal lho!”). Seringkali ancaman akan ditinggalkan memberi pesan bahwa anda tidak tahan dengannya atau pukulan secara emosional (dengan membiarkan dia tau anda bahwa anda menarik cinta anda, menolak untuk berbicara kepadanya atau mengatakan anda tidak menyukainya jika melanjutkan untuk mengecewakan anda). Bekas luka dalam pikiran/ hati jauh lebih lama sembuhnya ketimbang luka pada tubuh.
2. Memukul Akan Merendahkan Anak
Citra diri anak akan dimulai dengan bagaimana ia melihat orang lain -terutama kedua orang tuanya- memandang dirinya. Bahkan di dalam rumah yang penuh cinta, pukulan memberikan pesan yang membingungkan, terutama bagi anak yang terlalu muda untuk mengerti mengapa ia dipukul. Orang tua menghabiskan banyak waktu untuk membuat bayi atau anak anak merasa bernilai, membantu anak anak merasa “lebih baik”. Kemudian si anak memecahkan kaca, anda memukulnya dan ia merasa, “Aku pasti sangat buruk”.
Bahkan pelukan orang tua untuk mengatasi perasaan bersalah setelah pemukulan tidak menghilangkan luka. Anak kemungkinan tetap merasakan pukulan, pada tubuhnya maupun dalam hatinya, lama setelah pemukulan. Kebanyakan anak anak berada pada situasi ini akam memeluk untuk minta belas kasih. “Kalau aku memeluknya, ayah akan berhenti memukulku”. Ketika pemukulan terjadi berulang kali, sebuah pesan terkirim ke rumah kepada anak anda, “Kamu lemah dan tak berdaya”.
Joan, seorang ibu yang penuh kasih, meyakini bahwa memukul adalah hak dan kewajiban orang tua untuk merubah anak menjadi patuh. Dia merasa bahwa, “Memukul anak adalah “Untuk anak itu sendiri”. Setelah beberapa bulan ia menerapkan pukulan sebagai cara pendisiplinan, si balita terlihat menarik diri. Joan melihat anaknya bermain sendirian di sudut, tidak tertarik pada teman bermainnya, dan menghindari kontak mata dengan sang ibu. Anaknya telah kehilangan kecerian sebelumnya. Dari luar ia adalah seorang “Anak yang baik”. Dalam hati, si anak mengira bahwa ia adalah anak nakal. Ia merasa tidak tenang dan merasa tidak pernah bertindak dengan benar. Pukulan membuatnya merasa lebih kecil dan lemah, dikuasai oleh orang orang yang lebih besar darinya.
Joan, seorang ibu yang penuh kasih, meyakini bahwa memukul adalah hak dan kewajiban orang tua untuk merubah anak menjadi patuh. Dia merasa bahwa, “Memukul anak adalah “Untuk anak itu sendiri”. Setelah beberapa bulan ia menerapkan pukulan sebagai cara pendisiplinan, si balita terlihat menarik diri. Joan melihat anaknya bermain sendirian di sudut, tidak tertarik pada teman bermainnya, dan menghindari kontak mata dengan sang ibu. Anaknya telah kehilangan kecerian sebelumnya. Dari luar ia adalah seorang “Anak yang baik”. Dalam hati, si anak mengira bahwa ia adalah anak nakal. Ia merasa tidak tenang dan merasa tidak pernah bertindak dengan benar. Pukulan membuatnya merasa lebih kecil dan lemah, dikuasai oleh orang orang yang lebih besar darinya.
Memukul Tangan Anak (Slapping Hands)
Betapa menggoda memukul tangan tangan kecil yang usil itu. Banyak orang tua yang melakukan hal tersebut tanpa berfikir panjang dan mempertimbangkan konsekuensinya. Maria Montessori, seorang yang paling awal menentang pemukulan terhadap tangan anak anak, percaya bahwa tangan anak anak adalah alat untuk menjelajah, perpanjangan dari rasa ingin tahu alami si anak.
Memukul tangan mereka mengirimkan pesan negatif yang kuat. Orang tua yang peka yang telah kami wawancarai, semua setuju bahwa tangan harusnya terlarang bagi hukuman fisik. Hasil penelitian mendukung ide ini. Psikolog mempelajari sebuah kelompok yang terdiri dari anak usia empat belas dan enam belas bulan yang sedang bermain dengan ibu mereka. Ketika sekelompok balita mecoba menangkap objek yang terlarang, mereka menerima pukulan di tangan sedangkan kelompok balita lain tidak menerima hukuman fisik. Dalam studi lanjutan anak anak ini tujuh bulan kemudian, bayi bayi yang dihukum fisik ditemukan kurang terampil dalam menjajaki lingkungan mereka. Oleh karena itu, lebih baik memisahkan mereka dari benda benda berbahaya atau mengawasi explorasi agar tangan tangan kecil mereka tidak terluka.
3. Memukul Akan Merendahkan Orang Tua itu Sendiri
Orang tua yang mendisiplinkan anaknya dengan memukul atau menghukum anak melewati batas sering menilai rendah dirinya karena jauh dalam lubuk hati mereka merasa tidak benar dalam mendisiplinkan anak. Seringkali mereka memukul (atau berteriak) dalam keputusasaan karena mereka tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan, kemudian setelah itu mereka merasa lebih tak berdaya menemukan bahwa memukul itu tidak berguna. Sebagai seorang ibu yang menjatuhkan pukulan sebagai cara pendisiplinan katakan, “Saya menang pertempuran meskipun kalah perang. Anak saya sekarang ketakutan pada saya dan saya merasa telah kehilangan sesuatu yang berharga”.
Memukul juga merendahkan peran orang tua. Memiliki otoritas bermakna, anda dipercayai dan dihormati tetapi bukan ditakuti. Otoritas penuh tidak didasarkan pada rasa takut. Orang tua atau pengasuh yang berulang ulang menggunakan pukulan untuk mengendalikan anak anak masuk dalam situasi kalah – kalah. Tidak hanya si anak kehilangan rasa hormat terhadap orangtuanya, tetapi orangtua juga telah kalah karena mereka mengembangkan pola pikir ‘memukul’ dan tidak memiliki alternatif selain memukul. Sedikit sekali orang tua memiliki rencana dan pengalaman bagaimana mengalihkan perilaku potensial anak sehingga anak yang bertingkah berlebihan tidak terpanggil untuk memukul. Anak ini tidak pernah diajarkan untuk memiliki kendali dalam dirinya.
Mereka merendahkan hubungan orangtua-anak. Memberikan hukuman fisik pada anak membuat suatu jarak antara pemukul dan yang dipukul. Jarak ini kemudian menjadi masalah dalam rumah yang situasi orangtua-anak memang sudah tegang, misalkan pada orangtua tunggal atau keluarga yang tinggal dengan keluarga besar. Untuk beberapa anak mereka begitu pemaaf dan kembali seperti semula tanpa kesan negatif pada pikiran atau perilaku, tapi buat yang lain sangat sulit untuk kembali mencintai orang yang sudah memukul mereka.
4. Pemukulan Dapat Menjurus Pada Penganiayaan
Hukuman meningkat. Sekali anda mulai menghukum anak “sedikit saja” kapan anda akan berhenti? Ketika seorang balita mencoba meraih gelas yang dilarang, anda menahan tangannya untuk mengingatkan untuk tidak memegang. Ia coba meraihnya lagi, anda memukul tangannya. Setelah menarik tangannya sebentar, ia sekali lagi meraih vas kesayangan nenek. Anda memukul tangannya lebih keras. Anda telah memulai sebuah permainan yang tak seorangpun akan menang. Masalahnya kemudian menjadi siapa yang lebih kuat -tangan anda atau tangan anak anda- bukan lagi masalah menyentuh vas bunga. Apa yang anda lakukan sekarang?
Memukul lebih keras dan lebih keras lagi sampai tangan si anak kesakitan sampai dia tidak mungkin lagi berbuat ‘tidak patuh’? Tanda bahaya saat hukuman pertama dimulai ketika anda merasa anda harus membawa senjata yang lebih besar: tangan anda berubah menjadi sebuah tinju, pukulan berubah menjadi sebuah sabuk, gulungan koran berubah menjadi sendok kayu, dan yang terjadi sekarang nampaknya tidak salah meningkat menjadi penganiayaan anak.
Hukuman fisik secara bertahap meningkat menjadi penganiayaan anak. Orangtua yang punya pola pikir ‘hukuman fisik’ akan menyiapkan diri untuk menghukum lebih keras lagi, terutama karena mereka tidak belajar untuk memiliki alternatif lain dan sudah menyetel pikirannya untuk menghukum begitu anaknya melakukan berbuat salah.
5. Memukul Tidak Akan Memperbaiki Tingkah Laku
Seringkali kami mendengar para orangtua berkata, “ Semakain kami memukulnya, ulahnya semakin menjadi jadi”. Pemukulan membuat perilaku anak bertambah buruk, bukannya lebih baik. Inilah sebabnya. Ingatlah pada dasar untuk mengajak pada perilaku yang diinginkan. Anak yang merasa nyaman akan bertingkah laku menyenangkan. Inilah sebabnya.
Pemukulan mengeliminasi prinsip ini. Seorang anak yang dipukul akan merasa ada yang salah dalam dirinya dan ini akan muncul dalam perilakunya. Semakin ia bertingkah, semakin banyak pukulan didapatkannya dan semakin tidak nyaman perasaannya. Siklus berlanjut. Kita ingin anak tahu bahwa ia telah berbuat salah, dan ia merasakan penyesalan, namun kita masih ingin anak tahu bahwa ia berharga.
Siklus Kenakalan
Kenakalan, perilaku buruk, pemukulan mengurangi kepercayaan diri, juga menyebabkan kemarahan. Salah satu tujuan dari pendisiplinan adalah untuk menghentikan kenakalan sesegera mungkin dan pemukulan memungkinkannya. Adalah lebih penting untuk menciptakan keyakinan dalam diri anak agar ia tidak ingin mengulangi kenakalannya (yaitu, pengendalian diri dari dalam ketimbang dari luar).
Salah satu alasan kalau pemukulan tidak efektif yaitu dalam menciptakan kendali dari dalam diri bahwa selama dan segera setelah pemukulan si anak mulai terfokus pada ketidakadilan fisik (atau pada tahap itu ia akan mulai mempertanyakannya) dan melupakan alasan mengapa ia dipukul. Duduklah dan berbicaralah dengannya setelah pemukulan untuk meyakinkan bahwa ia sadar bahwa apa yang diperbuatnya dapat dilakukan juga (bahkan lebih baik) tanpa pemukulan. Pilihan untuk memukul akan lebih dipikirkan dan dirasakan oleh anak, namun pemukulan menguras tenaga dan waktu dari orangtua. Itulah sebabnya beberapa orangtua lebih memilih memukul –cara ini paling mudah.
6. Memukul Sebenarnya Tidak Dianjurkan Oleh Kitab Suci.
Jangan gunakan kitab suci sebagai pembenar untuk memukul. Ada sebagian orang yang percaya bahwa dalam kitab suci untuk memdidik anak, Tuhan membenarkan memukul. Mereka yakin bahwa jika mereka tidak memukul anak maka mereka akan kehilangan kendali atas anak anak dan mereka akan berdosa. Dalam pengalaman konseling kami, kami menemukan bahwa orang orang ini adalah orangtua yang mencintai Tuhan dan anak anak mereka tetapi salah dalam memahami makna ayat kitab suci. Apa yang tertulis dalam kitab suci tidak dapat benar benar kita pahami dan terkadang membingungkan.
JANGAN PUKUL ANAK. Ada beberapa orangtua yang seharusnya tidak memukul dan ada anak anak yang tidak boleh dipukul. Apakah ada penyebab dalam hidup anda, temperamen anda, atau hubungan anda dengan anak anda yang menempatkan anda dalam kondisi untuk menyakiti anak? Apakah ada karakteristik dalam diri anak anda yang membuat anda memukulnya?
• Apakah anda pernah dipukul ketika kecil dulu?
• Apakah anda mudah kehilangan kendali atas diri anda?
• Apakah anda sering memukul namun tidak berhasil?
• Apakah anda memukul lebih keras?
• Apakah memukul tidak ampuh?
• Apakah anda memiliki seorang anak yang memiliki ketertarikan yang besar terhadap sekeliling? Anak yang berkemauan keras?
• Apakah anak anda sangat sensitif perasaannya?
• Apakah hubungan anda dengan anak anda menjauh?
• Apakah ada masalah pada saat ini yang membuat anda marah, semisal persoalan keuangan, masalah dalam perkawinan atau baru kehilangan pekerjaan? Adakah faktor faktor yang menurunkan rasa percaya diri anda?
Jika jawaban untuk pertanyaan pertanyaan diatas adalah ya, maka anda seharusnya secara bijaksana mengembangkan mindset ‘tidak memukul’ dalam pikiran anda. Dan siapkan alternatif hukuman pengganti non jasmani yang paling baik. Jika anda merasa anda kurang mampu untuk melakukan ini maka, maka berbicaralah dengan seseorang yang dapat membantu anda.
7. Memukul Dapat Memicu Kemarahan dalam Diri Orangtua dan Anak
Anak anak sering menganggap hukuman itu tidak adil. Mereka lebih cenderung memberontak terhadap hukuman fisik daripada terhadap tehnik disiplin lainnya. Anak anak belum dapat berfikir rasional layaknya orang dewasa, namun mereka memiliki rasa keadilan bawaan –meskipun standarnya tidaklah sama dengan orang dewasa. Hal ini kiranya dapat mencegah pemberian hukuman karena dapat berkontribusi pada kemarahan anak. Seringkali perasaan ketidakadilan meningkat menjadi perasaan malu. Ketika hukuman merendahkan diri anak anak maka mereka akan memilih menarik diri atau memberontak. Walaupun pemukulan dapat membuat anak takut untuk melakukan kenakalan, tetapi lebih mungkin untuk membuat anak ketakutan dengan si pemukul.
Dalam pengalaman kami, dari banyak kasus yang telah kami teliti anak anak yang perilakunya dikendalikan oleh pukulan selama masa bayi hingga kanak kanak dapat saja nampak baik dari luar, namun menyimpan kemarahan yang berapi api dalam dirinya. Mereka merasa bahwa dirinya sudah diperlakukan dengan jahat dan mereka kemudian memisahkan diri dari dunia yang dianggap sudah tidak adil kepda mereka. Mereka menemui kesulitan untuk percaya kepada orang lain, menjadi tidak sensitif terhadap dunia yang telah tidak sensitif kepada mereka.
Para orangtua yang mengecek perasaannya setelah pemukulan seringkali menyadari yang mereka lakukan adalah untuk membebaskan diri dari kemarahan. Pelepasan kemarahan sering menjadi candu –mengabadikan sebuah siklus pendisiplinan yang tidak efektif. Kami telah menemukan bahwa cara terbaik untuk mencegah diri kita dari dorongan untuk memukul adalah menanamkan dalam diri kita keyakinan:
a) Bahwa kita tidak akan memukul anak anak kita
b) Bahwa kita akan mendisiplinkan mereka
Karena kita sudah memutuskan bahwa memukul bukanlah suatu pilihan maka kita harus mencari alternative yang lebih baik.
8. Memukul Dapat Mengingatkan Kembali Kenangan Buruk
Kenangan buruk akan selalu membekas dalam ingatan seorang anak yang pernah dipukul, dan akan membekaskan luka dibandingkan dengan kenangan yang menyenangkan. Karena memang kecenderungan manusia adalah untuk mengingat kembali kenangan yang traumatis. Saya tumbuh di rumah yang sangat nyaman, namun saya sesekali dan memang “sepatutnya” dipukul. Aku masih dapat mengingat dengan jelas adegan cabang (pohon) willow.
Setelah saya melakukan suatu kesalahan maka kakek akan menyuruh saya ke kamar dan mengatakan bahwa saya akan menerima pukulan. Aku ingat bagaimana aku melihat keluar jendela dan melihatnya melintasi halaman kemudian mengambil cabang pohon willow, kembali ke kamarku dan memukul bokongku dengan cabang tersebut. Cabang willow nampaknya menjadi alat pemukul yang efektif karena bekas pukulannya yang perih dan meninggalkan kesan pada saya secara fisik dan mental.
Meskipun saya ingat dibesarkan dalam rumah yang penuh kasih sayang, saya hampir tidak ingat adegan kebahagiaan secara spesifik seperti saya mengingat detil detil adegan pemukulan. Saya selalu berfikir bahwa salah satu tujuan kita sebagai orangtua adalah untuk mengisi bank memori anak anak kita dengan ratusan bahkan ribuan adegan adegan yang menyenangkan. Sangat tidak menyenangkan mengetahui bahwa kenangan buruk menghalangi kemajuan yang positif.
9. Pemukulan Pada Anak Memiliki Dampak Jangka Panjang yang Buruk
Penelitian telah menunjukkan bahwa memukul dapat meninggalkan bekas luka yang mendalam dan abadi ketimbang sekedar lebam kebiruan di permukaan kulit. Berikut ini ringkasan dari penelitian tentang efek jangka panjang dari hukuman fisik:
• Dalam sebuah penelitian yang berlangsung selama sembilan belas tahun, para peneliti menemukan bahwa anak anak yang dibesarkan di rumah rumah yang banyak memberlakukan hukuman fisik ternyata lebih antisocial dan egosentris, dan bahwa kekerasan fisik yang diterima menjadi norma bagi anak anak ini ketika mereka menjadi remaja dan orang dewasa.
• Mahasiswa menunjukkan banyak gangguan psikologi jika mereka dibesarkan dalam sebuah rumah dengan sedikit pujian, banyak kemarahan, banyak hukuman fisik dan banyak ejekan/ celaan (pelecehan verbal).
• Sebuah survey terhadap 679 mahasiswa perguruan tinggi menunjukkan bahwa mereka yang mengingat pernah dipukuli ketika kecil menganggap pemukulan sebagai cara pendisiplinan dan bermaksud untuk mendisiplinkan anak mereka kelak dengan memukul juga. Mahasiswa yang tidak dipukuli ketika kanak kanak secara signifikan kurang bisa menerima praktek tersebut ketimbang mereka yang pernah dipukul. Para mahasiswa yang pernah dipukuli tersebut mengingat bahwa orangtua mereka dalam kondisi marah selama memukul mereka. Mereka mengingat dengan baik keduanya, pukulan dan amarah orangtuanya.
• Pemukulan nampaknya memiliki efek negative jangka panjang ketika ditempatkan dalam kerangka dengan komunikasi positif dengan anak. Pukulan dapat memiliki efek yang tidak terlampau merusak jika dilakukan dalam rumah yang penuh cinta dan lingkungan yang harmonis.
• Sebuah studi tentang efek hukuman fisik pada perilaku agresif anak anak di kemudian hari menunjukkan bahwa semakin sering seorang anak diberikan hukuman fisik, maka semakin besar kemungkinan ia bersikap agresif terhadap anggota keluarga lainnya maupun teman sebayanya.
• Pemukulan dapat mengakibatkan sedikit agresi jika dilakukan dalam lingkungan sepenuhnya terpelihara dan anak selalu diberi penjelasan rasional mengapa pemukulan itu terjadi.
• Sebuah studi untuk menentukan apakah pukulan di tangan anak memiliki efek jangka panjang, menunjukkan bahwa balita mengalami kemunduran perkembangan eksplorasi sejauh 7 bulan.
• Orang dewasa yang menerima banyak hukuman fisik ketika remaja,rata rata melakukan pemukulan terhadap pasangannya 4 kali lebih besar ketimbang mereka yang tidak dipukul oleh orangtuanya.
• Suami yang dibesarkan dalam rumah yang penuh kekerasan akan 6 kali lebih mungkin memukul istri mereka daripada laki laki yang dibesarkan dalam rumah yang tanpa kekerasan.
• Satu dari empat orangtua yang dibesarkan dalam rumah yang penuh kekerasan memiliki resiko mencederai anak anak mereka dengan kekerasan pula.
• Studi populasi penjara menunjukkan bahwa sebagian besar penjahat yang kejam dibesarkan dalam lingkungan rumah yang penuh kekerasan.
• Sejarah hidup dari para penjahat, pembunuh, perampok, pemerkosa terkenal cenderung menunjukkan disiplin berlebihan di masa kanak kanak.
Bukti bukti yang menentang pemukulan begitu banyak. Ratusan penelitian yang dating bermuara pada kesimpulan yang sama :
1) Semakin banyak hukuman fisik yang diterima anak maka akan semakin agresif ia jadinya.
2) Semakin anak dipukuli, maka semakin besar kemungkinan mereka akan kasar terhadap anak anak mereka sendiri
3) Pemukulan menumbuhkan benih perilaku kekerasan di kemudian hari.
4) Pemukulan terbukti tidak efektif.
10. Pemukulan Terbukti Tidak Efektif
Banyak studi menunjukkan pemukulan sebagai teknik disiplin adalah sia sia, dan tidak seorangpun dapat menunjukkan manfaatnya. Dalam tigapuluh tahun terakhir di dunia pediatric (kedokteran anak), kami telah mengamati ribuan keluarga yang telah berusaha memukul dan itu tidak berhasil. Kesan kami secara umum adalah para orangtua akan lebih sedikit memukul sejalan dengan bertambahnya pengalaman mereka.
Memukul tidak efektif bagi si anak, tidak juga bagi orangtua, juga bagi komunitas sekitar. Pemukulan tidak mengajak pada perilaku yang baik, ia menciptakan jarak antara anak dan orangtua, dan ia berkontribusi dalam menciptakan kejahatan dalam masyarakat. Orangtua yang mengandalkan hukuman sebagai modus utama mereka mendisiplinkan anak tidak berkembang pengetahuannya tentang anak mereka sendiri. Hal tersebut menjauhkan mereka dari menciptakan alternative yang lebih baik, yang mana mampu membantu mereka mengenali anaknya dan membangun hubungan baik.
Dalam proses membesarkan delapan anak kami, kami pun telah menyimpulkan bahwa pemukulan tidaklah efektif. Kami menemukan diri kami semakin kurang memukul sejalan bertambahnya pengalaman juga bertambahnya jumlah anak anak. Dalam rumah kami, kami telah merencanakan diri kami untuk menentang pemukulan dan berkomitmen untuk menciptakan suatu sikap dalam diri anak anak kami, dan suasana dalam rumah kami, yang membuat memukul itu tidak dibutuhkan. Sejak pemukulan bukan lagi sebuah pilihan, kita dipaksa untuk memiliki alternative yang lebih baik. Ini tidak hanya membuat kita menjadi orangtua yang lebih baik, namun dalam jangka panjang kami percaya hal itu akan menciptakan anak anak lebih sensitif dan berperilaku baik.*
(Smart Parenting, by Bunda Arifah Handayani)