ANAK PAUD TK "DILARANG" MEMBACA MENULIS?

By sulthan on Kamis, 28 Maret 2013


Bunda... coba kita renungkan kata-kata dibawah ini:

Ada perbedaan antara anak yang didrill terus menerus dibandingkan anak yang dibolehkan untuk melakukan percobaan dengan huruf,
kata, dan menulis dalam lingkungan keaksaraan yang bebas tekanan. Anak adalah manusia, bukan robot digital jadi jangan ditekan dengan beban yang diluar kemampuannya.


Siapa yang salah dalam keadaan ini? Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia yang mencakup kelompok bermain dan taman kanak-kanak sebenarnya tidak mencatumkan pengajaran baca tulis berhitung. Sampai-sampai, Dra. Diah Harianti, M.Psi, Kepala Pusat Bagian Kurikulum Balitbang Depdiknas, menyebut tuntutan calistung di TK dan seleksi masuk SD sebagai "kecurangan". Toh, anjing menggonggong kafilah berlalu. Anak-anak yang sudah mampu calistung mendapat kans lebih besar saat mengikuti tes masuk SD. Inilah bedanya kurikulum dengan kenyataan. Tidak heran kalau kemampuan calistung menjadi target kebanyakan orangtua yang anaknya baru duduk di TK bahkan di playgroup, tanpa memperdulikan resiko yang berdampak buruk bagi perkembangan mental anak kedepannya. Alasan mereka, kompetisinya makin ketat, bukan?

Tes seleksi masuk SD pun, kata Diah, saangat tidak disarankan karena setiap anak Indonesia wajib bersekolah dan bisa bersekolah di mana pun. Tes masuk hanya untuk mengetahui latar belakang masing-masing murid agar guru dapat memahami kondisi mereka demi tercapainya tujuan pembelajaran kelak. Padahal, di SD-SD favorit berlaku sistem seleksi.
Sayangnya, seperti diakui Diah, tidak ada sanksi untuk pelanggar aturan tersebut. Beberapa SD swasta umpamanya banyak yang sudah menentukan ciri khasnya sendiri. "Pemerintah sebenarnya sudah pernah membuat surat edaran berisi imbauan bahwa tidak boleh ada penyelenggaraan tes masuk SD dan pengajaran baca-tulis di TK.  


Selanjutnya diharap kepada masyarakat "orang tua" untuk menjadi konsumen yang cerdas, dalam memilih lembaga Paud Bagi Anak, salah satunya dengan memilih sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang tidak mengajarkan baca, tulis, dan hitung (calistung). Padahal, keliru bila orang tua memilih PAUD yang mengajarkan calistung.

”Banyak orang tua anak usia dini yang terjebak saat memilih sekolah PAUD. Mereka menganggap, sekolah PAUD yang mahal, mewah, dan mengajarkan calistung merupakan sekolah yang baik,” kata Direktur PAUD Kementerian Pendidikan Nasional Sudjarwo, dalam siaran pers yang diterima Suara Merdeka, Minggu (18/7).

Karena itu, lanjutnya, pola pengajaran PAUD akan dikembalikan pada jalurnya. Sebab, menurutnya, sekolah PAUD yang bagus justru sekolah yang memberikan kesempatan pada anak untuk bermain, tanpa membebaninya dengan beban akademik.
”Calistung merupakan beban bagi anak usia dini. Pemberian pelajaran calistung di PAUD justru berbahaya dari sisi mental bagi anak itu sendiri,” tandasnya.

Dia menuturkan, pemberian pelajaran calistung juga dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. Sebab, anak bersangkutan bisa menjadi pemberontak. Meski demikian, orang tua sering melakukan kesalahan dengan membanggakan anaknya yang lulus Taman Kanak-kanak namun sudah pandai calistung.

”Untuk itu, Kemendiknas sedang gencar menyosialisasi agar PAUD kembali pada fitrahnya. Payung hukumnya sudah ada, yakni SK Mendiknas Nomor 58 tahun 2009,” ucapnya. Karena SK-nya sudah keluar, Sudjarwo mengingatkan agar PAUD tidak sembarangan memberikan pelajaran calistung. 

Hak Dasar

Kemendiknas juga sudah melakukan sosialisasi dengan melalui berbagai pertemuan di tingkat kabupaten dan provinsi.

”Kami sangat berharap pemerintah daerah dapat menindaklanjuti komitmen pusat untuk mengembalikan PAUD pada jalurnya,” tukasnya. 
Koordinator Komisi Edukasi dan Komunikasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Srie Agustina menyatakan, menyosialisasi produk pendidikan merupakan bagian dari fungsi dan tugas BPKN.

Hal itu dilakukan sebagai bagian untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. ”Dalam hal ini, BPKN memprioritaskan sosialisasi pada anak usia dini. Sebab, berdasarkan Konvensi Hak Anak, setiap anak memiliki empat hak dasar. Salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan dalam kerugian dari barang dan produk, termasuk produk pendidikan,” paparnya.
 
Sumber : diambil dari Berbagai Sumber !!