STIMULASI KECERDASAN SESUAI TAHAPAN PERKEMBANGAN JIWA ANAK

By sulthan on Rabu, 31 Oktober 2012






A. MENGENAL PERKEMBANGAN KEJIWAAN ANAK


1.    Masa Bayi ( 0 - 1 tahun )

 Masa gerak sensomotori,

Ciri-ciri normal pada masa ini ialah :

a.         pancaindra mulai berkembang

b.        mampu mengutarakan kebutuhan minum  dan  makan              

c.         dapat mengutarakan  perasaannya

d.         mengenal  bentuk dan  ciri

      
2.        Masa Balita (1 - 5 tahun)

Anak mulai mengenal dan  menguasai  sekelilingnya

a.      mulai berkahayal;

b.      mulai meniru sikap perilaku arang lain

c.      mulai dapat membedakan/membandingkan ukuran, keindahan

d.     mulai mengerti batasan-batasan

e.      masa bertanya  . Suka menagih janji yang tidak ditepati.

f.       f mulai berpusat pada akunya (egosentrik)          

g.      tidak sabar menunggu pelaksanaan  janji,

h.      tidak terlalu menghiraukan pertentangan


3. Masa memiliki perasaan tajam/intuisi (5 -7 tahun)

 Dengan ciri-ciri sebagai berikut :

Bahasa  sosial mulai berkembang

Bahasa  dipergunakan  sebagai  alat  berkomunikasi

Khayalan masih terus berkembang.              

Mulai mengenal simbol huruf, angka dan tanda- tanda     

Mampu  membedakan  ukuran, warna  yang  berlawanan

Mulai berfikir logis (wajar),



4. Masa berpikir konkrit (berdasarkan kenyataan) 7-12 tahun.
 
Ciri-cirinya sebagai berikut :

a.       Mampu  bekerja  sendiri

b.      Mampu  memecahkan masalah

c.       Mulai  mampu membedakan sifat-sifat benda

d.      Mampu mengolong-golongkan

e.       Mulai  memiliki  dan mengenal dasar norma

f.       Mulai  mampu  berdiskusi

g.      Mulai  mampu menciptakan suatu kreasi

h.      Mulai  mampu berfikir wajar
                  
Selengkapnya

WELCOME

By sulthan on Selasa, 23 Oktober 2012

Selamat Datang,

Terima kasih sudah berkunjung ke Blog ini, terima kasih untuk sudah berbagi cinta dan kasih sayang pada embun pagi, tunas-tunas bangsa, terima kasih juga sudah menjadi yang terbaik dengan menyayangi buah hati kita setulus cinta.

Lengan mungil, kecil, lemah dan tak berdaya masih sangat memerlukan bimbingan kita. Tatapan mata lugu tak berdosa penuh sejuta harapan ingin merengkuh memeluk kita. Cinta dan kasih sayang yang tak terbatas yang masih kita kita miliki, sangat mereka dambakan.

Datanglah...wahai ayah dan bunda..berilah kami lindungan, cinta dan kasih sayang di usia kami yang masih teramat belia ini. Raih tangan kami, Bimbing kami menyongsong esok yang penuh makna ceria.

Untuk melihat-lihat isi Blog silakan kunjungi Daftar Isi !!
Selengkapnya

Macam-macam Kata Ulang (Reduplikasi)

By sulthan on Kamis, 18 Oktober 2012


Reduplikasi disebut juga bentuk ulang atau kata ulang. Keraf (1991:149) mendefinisikan bentuk ulang sebagai sebuah bentuk gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk dasar sebuah kata. Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam bentuk ulang. Pengulangan dapat dilakukan terhadap kata dasar, kata berimbuhan, maupun kata gabung.
Kata yang terbentuk dari hasil proses pengulangan dikenal dengan nama kata ulang. Chaer (2006:286) membagi kata ulang berdasarkan hasil pengulangannya, yaitu
(1)     Kata ulang utuh atau murni
Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian perulangannya sama dengan kata dasar yang diulangnya. Dengan kata lain, kata ulang utuh atau murni terjadi apabila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan seutuhnya. Misalnya pada kata rumah-rumah, pohon-pohon, pencuri-pencuri dan anak-anak.
(2)     Kata ulang berubah bunyi
Kata ulang berubah bunyi merupakan kata ulang yang bagian perulangannya mengalami perubahan bunyi, baik itu perubahan bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Kata ulang jenis ini terjadi apabila ada pengulangan pada seluruh bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi. Kata ulang berubah bunyi yang mengalami perubahan bunyi vokal misalnya pada kata bolak-balik, gerak-gerik, dan kelap-kelip. Sedangkan kata ulang berubah bunyi yang mengalami perubahan bunyi konsonan misalnya pada kata sayur-mayur, lauk-pauk, gerak gerik, kelap kelip dan ramah tamah.
(3)     Kata ulang sebagian
Kata ulang sebagian merupakan pengulangan yang dilakukan atas suku kata pertama dari sebuah kata. Dalam pengulangan jenis ini, vokal suku kata pertama diganti dengan vokal e pepet. Kata-kata yang mengalami pengulangan sebagian antara lain lelaki, leluhur, pepohonan dan tetangga.
(4)     Kata ulang berimbuhan
Kata ulang berimbuhan merupakan bentuk pengulangan yang disertai dengan pemberian imbuhan. Chaer (2006:287) membagi kata ulang berimbuhan berdasarkan proses pembentukannya menjadi tiga, yaitu (1) sebuah kata dasar mula-mula diberi imbuhan kemudian baru diulang, umpamanya kata aturan-aturan; (2) Sebuah kata dasar mula-mula diulang kemudian baru diberi imbuhan, misalnya kata lari yang mula-mula diulang sehingga menjadi lari-lari kemudian diberi awalan ber- sehingga menjadi berlari-lari; (3) sebuah kata diulang sekaligus diberi imbuhan, umpamanya kata meter yang sekaligus diulang dan diberi awalan ber- sehingga menjadi bentuk bermeter-meter.  

Selengkapnya

Pengertian Ragam Bahasa dan Jenis-jenisnya

By sulthan on Senin, 15 Oktober 2012


Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa. Bachman (1990, dalam Angriawan, 2011:1), menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik  yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Dengan kata lain, ragam bahasa adalah variasi bahasa yang berbeda-beda yang disebabkan karena berbagai faktor yang terdapat dalam masyarakat, seperti usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi, latar belakang budaya daerah, dan sebagainya.
Akibat berbagai faktor yang disebutkan di atas, maka Bahasa Indonesia pun mempunyai ragam bahasa. Chaer (2006:3) membagi ragam Bahasa Indonesia menjadi tujuh ragam bahasa.
Pertama, ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Ragam bahasa ini disebut dengan istilah idiolek. Idiolek adalah variasi bahasa yang menjadi ciri khas individu atau seseorang pada saat berbahasa tertentu. 
Kedua, ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah tertentu, yang biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya, ragam Bahasa Indonesia dialek Bali berbeda dengan dialek Yogyakarta.
Ketiga, ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu, biasanya disebut sosiolek. Misalnya ragam bahasa masyarakat umum ataupun golongan buruh kasar tidak sama dengan ragam bahasa golongan terdidik.
Keempat, ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan ilmiah, sastra, dan hukum. Ragam ini disebut juga dengan istilah fungsiolek, contohnya ragam bahasa sastra dan ragam bahasa ilmiah. Ragam bahasa sastra biasanya penuh dengan ungkapan atau kiasan, sedangkan ragam bahasa ilmiah biasanya bersifat logis dan eksak.
Kelima, ragam bahasa yang biasa digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi. Biasa disebut dengan istilah bahasa baku atau bahasa standar. Bahasa baku atau bahasa standar adalah ragam bahasa yang dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar. Bahasa baku biasanya dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat menyurat dan rapat resmi, serta tidak dipakai untuk segala keperluan tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar itu biasanya dipakai ragam tak baku.      
Keenam, ragam bahasa yang biasa digunakan dalam situasi informal atau tidak resmi yang biasa disebut dengan istilah ragam nonbaku atau nonstandar. Dalam ragam ini kaidah-kaidah tata bahasa seringkali dilanggar.
Ketujuh, ragam bahasa yang digunakan secara lisan yang biasa disebut bahasa lisan. Bahasa lisan sering dibantu dengan mimik, gerak anggota tubuh, dan intonasi. Sedangkan lawannya, ragam bahasa tulis tidak bisa dibantu dengan hal-hal di atas. Oleh karena itu, dalam ragam bahasa tulis harus diupayakan sedemikian rupa agar pembaca dapat menangkap dengan baik bahasa tulis tersebut.
Selain itu, Moeliono (1988, dalam Abidin, 2010:1) juga membagi ragam bahasa menurut sarananya menjadi ragam lisan dan  ragam tulis. Ragam lisan yaitu ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan yang terikat oleh kondisi, ruang dan waktu sehingga situasi saat pengungkapan dapat membantu pemahaman pendengar. Sedangkan ragam tulis adalah ragam bahasa yang dipergunakan melalui media tulis, yang tidak terikat oleh ruang dan waktu.
            Penggunaan kedua ragam bahasa ini juga umumnya berbeda. Penggunaan ragam bahasa lisan mempunyai keuntungan, yaitu karena ragam bahasa lisan digunakan dengan hadirnya lawan bicara, serta sering dibantu dengan mimik, gerak gerik anggota tubuh, dan intonasi ucapan. Sedangkan dalam bahasa tulis, mimik, gerak gerik anggota tubuh, dan intonasi tidak mungkin diwujudkan. 
Selengkapnya

Tukar Link

By sulthan


Bagi teman-teman blogger yang ingin bertukar link dengan saya, ikuti tata caranya sebagai berikut:

  • Pasang link saya terlebih dahulu di blog anda dengan format
       Nama blog: Yuk Berbagi Info dan Ilmu
  • Setelah itu tinggalkan komentar anda pada kotak komentar
  • Setiap minggu saya akan cek blog anda. Jika anda menghapus link ke blog ini, maka saya juga akan memutuskan backlink ke blog anda tanpa pemberitahuan terlebih dahulu


Selengkapnya

IMPLIKASI KONVENSI HAK ANAK DALAM KEGIATAN DI LEMBAGA SEKOLAH

By sulthan

PAUD-Anakberminbelajar---anak dimanapun mereka berada, memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, tumbuh kembang anak dijamin dalam setiap aturan dan perundang-undangan yang ada hampir disemua negara. Demikian halnya di Indonesia, setelah konvensi hak anak yang dicanangkan maka hak-hak anak, hendaknya dapat dijamin dan lebih diperhatikan demi masa depan penerus bangsa ini. Dimulai disekolah-sekolah dengan melibatkan kegiatan-kegiatan yang mendukung terhadap hak-hak anak, maka secara langsung ataupun tidak langsung anak-anak yang bersekolah dilembaga pendidikan tertentu harus dijamin dan dilindungi hak-hak mereka.

a. Krisis Ekonomi Sebagai Kasus
Di Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak, berumur antara 10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja anak. Setelah krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang bekerja ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan tidak bekerja kini menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula anak yang semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja penuh waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya menjadi lebih banyak.

Krisis ekonomi membuat semakin banyak anak yang bekerja. Krisis juga membuat banyak anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam contoh kasus diatas, disoroti secara khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut, tidak perlu penjelasan lebih jauh, nyata saling berkaitan. Kalau anak bekerja maka kesempatannya untuk bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, jika anak putus sekolah, maka masalah penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan bagi anak pada khususnya yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga akibat krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara ekonomi.

b. Pandangan terhadap Anak yang Tidak Bersekolah dan Anak yang Bekerja
Dewasa ini, kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan tertentu, jika dinyatakan: “Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus sekolah”, maka pernyataan itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik, setidaknya secara moral. Dewasa ini, masyarakat umum cenderung beranggapan bahwa sekolah (lebih tepatnya: pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi anak-anak. Begitu pula halnya dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para pakar, politisi dan media massa secara umum, mereka semua cenderung beranggapan bahwa sekolah bagi anak-anak merupakan sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak dan tidak perlu ada pertanyaan lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah opini publik di kalangan masyarakat kebanyakan dipengaruhi dan dibentuk oleh pandangan dari kalangan pemuka, pakar, para politisi dan media massa; atau sebaliknya, opini publiklah yang mengarahkan sentimen para politisi, pemuka serta media-massa agar berpihak kepada opini umum; yang pasti pandangan umum mengenai perlunya pendidikan bagi anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi pada masa normal, telah menjadi suatu opini yang solid, tidak perlu dipertanyakan dan hampir tidak bisa digugat.

Agak berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan masyarakat termasuk para orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa salahnya jika anak bekerja? Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu menambah penghasilan orangtuanya, adalah sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum krisis-pun banyak diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun sebagian aktifis LSM. yang berpandangan seperti itu. Dan setelah krisis ekonomi melanda, pandangan demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada pula yang berpendapat bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak, dan bahwa anak seharusnya tidak boleh dipekerjakan.
Untuk memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja, mungkin kita perlu melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan berubah selang kurun waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya, walaupun pada masa sekarang dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua atau tiga generasi yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah belaka. Pada masa itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang tidak bersekolah. Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sebenarnya telah terjadi perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan bagi anak.

Hatta, dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat terhadap anak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya; dan bahwa oleh karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya senantiasa berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat terhadap anak juga merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di Inggris misalnya, perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sesudah masa revolusi industri membuat pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan resmi Negara mengenai wajib belajar.

Menggunakan kasus perubahan pandangan masyarakat mengenai arti pendidikan bagi anak seperti disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis untuk memahami persepsi masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita dapat menduga bahwa bukannya tidak mungkin jika kelak, satu atau dua generasi mendatang, keberadaan anak yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya secara moral: bahwa keberadaan anak yang bekerja adalah suatu aib yang tidak bisa ditolerir.

c. Penetapan Standar dan Perubahan Pandangan Masyarakat
Selain karena perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga bisa disebabkan oleh nilai atau aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah, anak-anak perempuan dianggap sebagai aib dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi Muhammad SAW memperkenalkan nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada pandangan terhadap anak perempuan.
Tadi telah disinggung tentang kaitan antara perkembangan revolusi industri dengan berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim wajib belajar melalui aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan mengenai wajib belajar, maka secara teknis setiap anak harus memperoleh pendidikan (biasanya pendidikan dasar) selama periode tertentu misalnya enam atau sembilan tahun.
Pengenalan suatu nilai baru dan pemberlakuan aturan yang sesuai merupakan suatu langkah yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun juga secara yuridis. Nilai yang baru membuat orang menjadi merasa bersalah apabila melakukan penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa sanksi bagi setiap pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib belajar (dalam contoh ini di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar himbauan moral atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu standar yang bisa diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan seperti itu biasa disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).

Dengan standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan hukum, maka penegakan (enforcement) bisa dijalankan. Orangtua yang gagal mengirimkan anaknya ke sekolah, bisa dikenai sanksi tertentu. Penegakan yang konsekuen dan konsisten, pada gilirannya akan membuat masyarakat, terpaksa ataupun sukarela, mematuhi ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu generasi kemudian, semua anak praktis sudah akan memperoleh pendidikan dasar yang diwajibkan. Lalu pada generasi berikutnya, membiarkan anak tidak bersekolah akan dianggap bukan saja sebagai suatu pelanggaran hukum namun juga sebagai penyimpangan sosial dan moral. Jadi penegakan hukum pada gilirannya akan memperkuat nilai yang diberlakukan. Opini masyarakat akan menjadi semakin solid dan orang tidak lagi menganggap perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan pendidikan bagi anak.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penetapan standar melalui aturan yang berkekuatan hukum, jika diikuti dengan penegakan secara konsekuen, pada gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan perilaku sosial. Dengan kata lain, penetapan standar bisa membawa perubahan terhadap perilaku dan pandangan masyarakat.

d.Konsep Hak Anak dan Perkembangannya
Pandangan masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak, membentuk konsep mengenai hak anak. Misalnya, jika dianggap bahwa anak memerlukan pendidikan, maka pandangan ini membentuk konsep mengenai hak anak atas pendidikan. Begitu pula jika dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari penghisapan (eksploitasi) ekonomi, maka pandangan seperti ini akan membentuk konsep mengenai hak anak untuk dilindungi dari berbagai pekerjaan yang berdampak buruk bagi perkembangan, kesehatan dan moral anak, atau yang membahayakan keselamatannya.

Dimuka telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Demikianlah maka konsep mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan perkembangan.

Syahdan, pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek, melainkan hanya sebagai obyek milik orangtua semata. Oleh karena itu masyarakat pada jaman itu mentolerir dan menganggap biasa jika orangtua menjual, menganiaya, ataupun membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak. Dan konon yang paling menderita adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.

Pada awal kelahiran Negara Kebangsaan moderen seperti yang kita kenal saat ini, dimana mulai diperkenalkan adanya sistim hukum nasional yang tunggal, sistim hukum nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu subyek hukum yang mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan tempat kelahiran Negara Kebangsaan moderen, baru pada tahun 1945 atau sekitar satu-setengah abad setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, hukum perdatanya yang memberikan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan anaknya (dibawah 21 tahun) mulai direvisi.

Kita ketahui pula, bahwa hingga saat inipun kewenangan publik untuk melakukan intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh orangtuanya di Indonesia masih belum tegas diatur dalam KUHP maupun didalam perundangan nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar yang berkekuatan hukum yang pasti untuk memberikan ganjaran pidana bagi orangtua yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas anak — setidaknya didalam enforcementnya.

e. Penetapan Standar Internasional dibidang Hak Anak
Penetapan standar bisa dilakukan di tingkat nasional dalam wilayah suatu negara. Namun bisa juga dilakukan ditingkat internasional melibatkan beberapa atau semua negara di dunia.

Dalam konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah pendiriannya pada tahun 1919, ILO membuat Konvensi yang menetapkan batas usia minimum bagi anak untuk dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, karena mandat organisasi yang memang terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas hanya pada hak anak atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”.

Republik Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu. Namun sebagai jajahan Belanda, hukum Belanda diberlakukan di Indonesia pada masa itu. Dalam kaitan ini, cukup menarik untuk berspekulasi tentang kaitan antara Konvensi ILO tahun 1919 dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman pemerintahan kolonial Belanda) tahun 1925 yang menetapkan batas umur minimum tertentu sebelum anak boleh dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan yang belum dicabut hingga saat ini.
Lima tahun setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun 1924, organisasi internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini menetapkan standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak anak dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari eksploitasi ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada masa itu.

Pada tahun 1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa bubar, organisasi internasional yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa pada tahun 1948 negara Republik Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada tahun 1959, PBB seolah menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa Bangsa, kembali mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan deklarasi internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas jika dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang dicanangkan tahun 1924.

Berbeda dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan standar yang hanya mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis. Jadi, Deklarasi Internasional tentang Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun yang kedua (1959) tidak mengikat secara hukum.
Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB menerima dengan suara bulat naskah akhir Konvensi Hak Anak, yang kemudian berlaku sebagai hukum internasional pada tahun berikutnya, 1990.

Banyak perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang terjadi sejak dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya naskah Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan yang bisa disebutkan antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1976). Didalam kedua instrumen internasional tersebut konsep mengenai hak anak mengalami perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun tersebut masih ada banyak instrumen internasional lain menyangkut hak asasi manusia, yang langsung maupun tidak langsung membawa dampak pula bagi perkembangan konsep tentang hak anak. Singkatnya, Konsep tentang hak anak yang tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh lebih luas dibandingkan dengan yang tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang dicanangkan pada periode sebelumnya.

Isi Konvensi Hak Anak
Demikian luasnya cakupan hak anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, sehingga untuk bisa mengingatnya dengan lebih mudah, dibuat pengelompokan tertentu. Salah satu cara pengelompokan yang populer ialah dengan membagi hak anak menjadi empat kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.

Namun demikian, pengelompokan “resmi” yang dibuat oleh Komite Hak Anak (yakni badan yang dibentuk untuk mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori, sebagai berikut:
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus.

Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif berisi kandungan konsep hak anak adalah kategori ke 4-8. Secara garis besar, kandungan hak anak dalam setiap kategori adalah sebagai berikut:
Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri atas Pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa anak adalah subyek hukum yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil sebagaimana layaknya orang dewasa. Sebagian terbesar dari ketentuan dalam kategori ini diturunkan dari “hak sipil dan politik” yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya, anak berhak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, dan berhak untuk bebas dari perlakuan semena-mena.

Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti: Terdiri atas Pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19, 20, 21, 25, 27 ayat 4 dan 39. Mengatur hubungan anak dengan orangtua/ keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.

Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3. Memberikan kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.

Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya: Terdiri atas Pasal-pasal 28, 29 dan 31. Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.

Perlindungan Khusus: Terdiri atas Pasal-pasal 22, 38, 39, 40, 37 (b)-(d), 32, 33, 34, 35 dan 36. Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.

Bagi pembaca yang mempunyai minat untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian lebih lanjut dari kandungan substantif hak-hak anak tersebut, disarankan untuk membaca Konvensi Hak Anak.

Konvensi Hak Anak, karena sifat yang cakupannya, membawa pandangan baru yang radikal terhadap anak sebagai manusia dan sekaligus subyek hukum. Jika standar-standar dalam KHA ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat, tidak saja terhadap anak-anak namun juga terhadap sesama manusia lainnya.

Implementasi Konvensi Hak Anak
Di atas tadi telah didiskusikan secara ringkas bagaimana faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap anak; dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan konsep hak anak. Juga bagaimana penetapan standar yang mengikat secara yuridis dan penegakannya membawa pengaruh pada persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini menyangkut hak anak).

Berdasarkan sifatnya, hukum internasional termasuk hukum internasional dibidang HAM (KHA adalah bagian integral dari hukum internasional dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap Negara; bukannya mengikat individu maupun badan-badan hukum swasta.
Penegakan hukum internasional dibidang HAM, agar bersifat mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta, harus dilakukan dengan mentransformasikan hukum internasional bersangkutan kedalam ketentuan-ketentuan didalam hukum nasional suatu Negara. Inilah yang disebut sebagai implementasi atau aplikasi domestik dari hukum HAM internasional. (Perlu diingat bahwa hanya instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis-lah — seperti Konvensi Hak Anak — yang mempunyai kekuatan paksa agar diimplementasikan di tingkat nasional).

Dalam kaitan ini, karena Republik Indonesia sudah ikut menyetujui (meratifikasi) KHA, maka Indonesia terikat pada kewajiban yuridis untuk mengimplementasikan KHA didalam wilayah hukum nasional Indonesia.

Dalam wacana HAM, ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai kewajiban generik (generic obligations). Kewajiban-kewajiban lain pada umumnya merupakan turuna atau derivat dari ketiga kewajiban generik tersebut. Tiga kewajiban generik dimaksud ialah:
• Kewajiban untuk menghormati (respect)
• Kewajiban untuk melindungi (protect)
• Kewajiban untuk memenuhi (fulfill)
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. Kewajiban ini relatif mudah dan murah, karena hanya mengehendaki abstensi: sudah cukup terlaksana sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak melakukan pelanggaran. Misalnya, polisi tidak melakukan penangkapan dan pehananan sewenang-wenang, atau penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah melakukan pencurian. Kiranya tidak perlu penjelasan panjang lebar, tidak melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak yang dituduh mencuri, sama sekali merupakan perkara mudah dan tidak membutuhkan biaya sepeserpun.

Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan sanksi (biasanya sanksi pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud biasanya diwujudkan dengan membuat aturan hukum di tingkat nasional, atau menyesuaikan aturan hukum nasional yang ada agar sesuai dengan standar serta ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Upaya untuk memberi perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran oleh pelaku-pelaku non-Negara seperti ini dikenal juga sebagai “efek horizontal dari hukum HAM internasional” (horizontal effect of international human rights law). Misalnya, Negara membuat aturan baru atau menyesuaikan aturan yang ada guna melarang dilakukannya tindakan main hakim sendiri oleh siapapun (termasuk oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh atau diketahui mencuri; dan memberikan sanksi terhadap satpam yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.

Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk memberikan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya, jika ditentukan bahwa setiap anak yang dituduh telah melanggar hukum pidana (mencuri) berhak untuk didampingi oleh seorang pengacara, maka Negara harus menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban ini dikenal sebagai kewajiban yang paling sulit untuk dilakukan, antara lain karena implementasinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam contoh kasus tadi, dimana Negara harus menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh mencuri, jelas membutuhkan biaya (untuk gaji, administrasi kepegawaian, dsb.) yang tidak kecil.

Demikian tentang implikasi konvensi hak anak dalam kegiatan di lembaga sekolah, khususnya dilembaga-lembaga PAUD kita, semoga dapat menjadi bahan perenungan dan masukan untuk menentukan kegiatan yang dapat mendukung hak-hak anak kita di sekolah. terimakasih. semoga bermanfaat.
Selengkapnya

Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia dan Jenis-jenisnya

By sulthan on Minggu, 14 Oktober 2012


Chaer (2006:86) membagi kelas kata menjadi beberapa jenis, yaitu
(1)     Kata Benda
Kata benda adalah semua kata yang dapat diterangkan dengan menambahkan yang + kata sifat (Keraf, 1991:58). Misalnya jalan yang bagus, dan pelayanan yang memuaskan. Selain itu, kata benda juga dapat diawali dengan kata bukan tetapi tidak bisa diawali dengan kata tidak.
Kata benda dapat berupa kata benda dasar dan kata benda turunan. Kata benda dasar merupakan kata benda yang berupa kata dasar atau kata benda yang tidak berimbuhan, contohnya rumah dan murid. Sedangkan kata benda turunan berupa (1) kata benda yang berimbuhan, contohnya penyiar dan bendungan; (2) kata benda dengan bentuk reduplikasi, misalnya rumah-rumah, dan buku-buku; serta (3) kata benda majemuk, contohnya sapu tangan dan minyak goreng.
(2)     Kata Ganti
Kata ganti adalah kata yang dipakai untuk menggantikan kata benda yang menyatakan orang untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu. Misalnya murid dapat diganti dengan kata ganti dia, atau ia. Keterangan lebih lanjut tentang kata ganti dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Kata Ganti
Orang
Tunggal
Jamak
I
II

III
Aku, daku, ku-, -ku,
Engkau, kamu, kau-,
-mu, anda
 Ia, dia, -nya, beliau
Kami (eksklusif), kita (inklusif)
Kamu sekalian, anda sekalian

Mereka
Sumber: Keraf (1991:62)
Berdasarkan bagan di atas, kami dan kita sama-sama berfungsi sebagai kata ganti orang pertama jamak. Bedanya, kami bersifat eksklusif, sedangkan kita bersifat inklusif. Kami bersifat ekslusif artinya pronomina itu mencakup pembicara dan orang lain di pihaknya tetapi tidak mencakup orang lain di pihak pendengar. Sebaliknya, kita bersifat inklusif artinya pronomina itu tidak saja mencakup pembicara dan orang lain di pihaknya tetapi juga orang lain di pihak pendengar (Alwi, 2003:252) 
(3)     Kata Kerja
Kata kerja adalah kata-kata yang menyatakan perbuatan atau tindakan. Semua kata yang mengandung imbuhan me-, ber-, di-, kan-, dan -i atau penggabungannya termasuk dalam kata kerja. Tetapi ada juga kata kerja yang tidak mengandung bentuk imbuhan di atas, karena merupakan bentuk kata dasar, misalnya tidur, bangun, mandi, datang, pulang, dan sebagainya.
Segala macam kata kerja mempunyai suatu kesamaan, baik yang memiliki imbuhan ataupun tidak. Kesamaan tersebut merupakan ciri utama kata kerja, yaitu dapat diperluas dengan “dengan + kata sifat”, misalnya belajar dengan rajin.
(4)   Kata Sifat
Kata sifat merupakan kata yang menyatakan sifat atau keadaan dari suatu nomina (kata benda) atau suatu pronominal (kata ganti) (Keraf, 1991:88). Misalnya tinggi, mahal, baik, dan rajin. Semua kata sifat dalam Bahasa Indonesia dapat mengambil bentuk se + reduplikasi kata dasar + nya, serta dapat diperluas dengan paling, lebih, dan sekali, misalnya paling cepat, lebih cepat, dan cepat sekali.
(5)     Kata Sapaan
Kata sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara (Chaer, 2006:107). Kata sapaan menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan.
Kata sapaan dalam bentuk nama diri dapat digunakan dalam bentuk utuh seperti Tina, Hasan, dan Asti, dapat pula digunakan dalam bentuk singkatnya, seperti Tin, San, dan As. Begitu juga dengan nama perkerabatan. Bentuk utuh dan bentuk singkat dari nama perkerabatan dapat dipakai, misalnya Pak dari bentuk utuh Bapak, Dik dari bentuk utuh adik, dan Bu dari bentuk utuh Ibu.
(6)     Kata Penunjuk
Kata penunjuk adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan suatu benda. Chaer (2006:110) membagi kata penunjuk memjadi dua yaitu ini dan itu. Kata penunjuk ini digunakan untuk menunjuk suatu benda yang letaknya relatif dekat dari pembicara, sedangkan kata penunjuk itu digunakan untuk untuk menunjuk benda yang letaknya relatif jauh dari pembicara.
(7)     Kata Bilangan
Kata bilangan adalah kata yang menunjukkan nomor, urutan atau himpunan. Menurut bentuk dan fungsinya, kata bilangan dibagi menjadi kata bilangan utama dan kata bilangan tingkat (Chaer, 2006:113). Kata bilangan utama seperti satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Sedangkan kata bilangan tingkat seperti pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
(8)     Kata Penyangkal
Kata penyangkal merupakan kata yang digunakan untuk menyangkal atau mengingkari suatu hal atau suatu peristiwa. Chaer (2006:119) menyatakan bahwa kata penyangkal yang ada dalam Bahasa Indonesia yaitu kata tidak atau tak, tiada, bukan, dan tanpa.
(9)     Kata Depan
Kata depan adalah kata yang digunakan di depan kata benda untuk merangkaikata benda tersebut dengan bagian kalimat lain. Chaer (2006:122) membagi kata depat berdasarkan fungsinya, yaitu kata depan yang menyatakan (1) tempat berada, yaitu di, pada, dalam, atas, dan antara; (2) arah asal, yaitu dari; (3) arah tujuan, yaitu ke, kepada, akan, dan terhadap; (4) pelaku, yaitu oleh; (5) alat, yaitu dengan, dan berkat; (6) perbandingan, yaitu daripada; (7) hal atau masalah, yaitu tentang dan mengenai; (8) akibat, yaitu hingga dan sampai; (9) tujuan, yaitu untuk, buat, guna, dan bagi.
(10) Kata Penghubung
Kata penghubung merupakan kata yang berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat. Berdasarkan fungsinya, kata penghubung dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) kata penghubung yang menghubungkan kata, klausa, atau kalimat yang kedudukannya sederajat atau setara; dan (2) kata penghubung yang menghubungkan klausa dengan klausa yang kedudukannya bertingkat.
Kata penghubung yang menghubungkan kata, klausa, atau kalimat yang kedudukannya sederajat atau setara dibedakan menjadi kata penghubung yang (1) menggabungkan biasa, yaitu dan, dengan, serta; (2) menggabungkan memilih, yaitu atau; (3) menggabungkan mempertentangkan, yaitu tetapi, namun, sedangkan, dan sebaliknya; (4) menggabungkan membetulkan, yaitu kata penghubung melainkan dan hanya; (5) menggabungkan menegaskan, yaitu bahkan, malah (malahan), lagipula, apalagi, dan jangankan; (6) menggabungkan membatasi, yaitu kecuali, hanya; (7) menggabungkan mengurutkan, yaitu lalu,  kemudian, selanjutnya; (8) menggabungkan menyamakan, yaitu yakni, yaitu, bahwa, adalah, ialah; dan (9) menggabungkan menyimpulkan, yaitu jadi, karena itu, oleh sebab itu.
 Kata penghubung yang menghubungkan klausa dengan klausa yang kedudukannya bertingkat dibagi menjadi kata penghubung yang menggabungkan (1) menyatakan sebab, yaitu sebab, karena; (2) menyatakan syarat, yaitu kalau, jikalau, jika, bila, apabila, asal; (3) menyatakan tujuan, yaitu agar, supaya; (4) menyuatakan waktu, yaitu ketika, sewaktu, sebelum, sesudah, tatkala; (5) menyatakan akibatsampai, hingga, sehingga; (6) menyatakan sasaran, yaitu untuk, guna; (7) menyatakan perbandingan, yaitu seperti, sebagai, laksana; (8) menyatakan tempat, yaitu kata penghubung tempat.
(11) Kata Keterangan
Kata keterangan merupakan kata yang memberi penjelasan pada kalimat atau bagian kalimat lain. Kata keterangan dibagi menjadi dua, yaitu kata keterangan yang menyatakan seluruh kalimat, dan kata keterangan yang menyatakan unsur kalimat (Chaer, 2006:162-163).
Kata keterangan yang menerangkan keseluruhan kalimat mempunyai empat fungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain (1) kepastian, yaitu memang, pasti, tentu; (2) keraguan atau kesangsian, yaitu barangkali, mungkin, kiranya, rasanya, agaknya, rupanya; (3) harapan, yaitu semoga, moga-moga, mudah-mudahan, hendaknya; dan (4) frekuensi, yaitu seringkali, sesekali, sekali-kali, acapkali, jarang.
Kata keterangan yang menerangkan unsur kalimat berfungsi untuk menyatakan (1) waktu, yaitu sudah, telah, sedang, lagi, tengah, akan, belum, masih, baru, pernah, sempat; (2) sikap batin, yaitu ingin, mau, hendak, suka, segan; (3) perkenan, yaitu boleh, wajib, mesti, harus, jangan, dilarang; (4) frekuensi, yaitu jarang, sering, sekali, dua kali; (5) kualitas, yaitu sangat, amat, sekali, lebih paling, kurang, cukup; (6) kuantitas dan jumlah, yaitu banyak, sedikit, kurang, cukup, semua, beberapa, seluruh, sejumlah, sebagian, separuh, kira-kira, sekitar, kurang lebih, para, kaum; (7) penyangkalan, yaitu tidak, tak, tiada, bukan; dan (8) pembatasan, yaitu hanya, cuma.
(12) Kata Tanya
Kata tanya merupakan kata yang digunakan sebagai pembantu dalam kalimat tanya, yang menanyakan tentang benda, orang, atau keadaan. Keraf (1992:68) menyatakan bahwa kata tanya asli dalam Bahasa Indonesia adalah (1) apa,untuk menanyakan benda; (2) siapa, untuk menyakan orang, dan (3) mana untuk menanyakan pilihan.
Ketiga kata tanya tersebut dapat dgabungkan dengan bermacam-macam kata depan, seperti dengan apa, dengan siapa, dari mana, untuk apa, untuk siapa, ke mana, buat apa, buat siapa, kepada siapa, dari apa, dan dari siapa. Adapula kata tanya lain yang bukan menanyakan orang atau benda, melainkan menanyakan keadaan atau perihal, seperti mengapa, bilamana, berapa, kenapa, dan bagaimana.
(13) Kata Seru
Kata seru merupakan kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Ada dua macam kata seru bila dilihat dari strukturnya yaitu kata seru yang berupa kata-kata singkat dan kata seru yang berupa kata-kata biasa (Chaer, 2006:193). Kata seru yang berupa kata-kata singkat misalnya wah, cih, hai, o, oh, nah, ha, dan hah. Sedangkan kata seru yang berupa kata-kata biasa seperti aduh, celaka, gila, kasihan, dan ya ampun, serta kata serapan astaga, masya Allah, Alhamdulillah, dan sebagainya.
(14) Kata Sandang
Chaer (2006:193) menyatakan bahwa kata sandang yang ada dalam Bahasa Indonesia adalah si, dan sang. Kata sandang si digunakan di depan kata nama diri, kata nama perkerabatan, dan kata sifat, contohnya si Hasan, si adik, dan si gendut. Sedangkan kata sandang sang berfungsi untuk mengagungkan dan digunakan di depan nama tokoh pahlawan, nama tokoh cerita, atau nama sesuatu yang dihormati, misalnya Sang Mahaputra, Sang kancil, Sang merah putih.
(15) Partikel Penegas
Partikel penegas merupakan morfem yang digunakan untuk menegaskan (Chaer, 2006:194). Partikel penegas dalam Bahasa Indonesia adalah -kah, -tah, -lah, -pun, dan -ter.
Selengkapnya

Jenis Kata Menurut Bentuknya

By sulthan


Santosa, dkk (2008:4.15) menyatakan bahwa kata menurut bentuknya dikelompokkan menjadi kata jadian atau kata turunan serta kata dasar. Kata jadian terbagi lagi menjadi kata berimbuhan, kata ulang dan kata majemuk. Sedangkan kata berimbuhan meliputi kata berawalan (prefiks), kata bersisipan (infiks), kata berakhiran (sufiks), dan kata yang berkonfiks. 
Senada dengan Santosa, Keraf (1991:44) juga mengelompokkan kata berdasarkan bentuknya menjadi kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. Sedangkan kata berimbuhan terdiri atas kata yang berprefiks (berawalan), kata yang berinfiks (bersisipan), kata yang bersufiks (berakhiran), dan kata yang berkonfiks.
2.2.3.1.1        Kata Berimbuhan (Afiks)
Seringkali sebuah kata dasar perlu diberi afiks atau imbuhan terlebih dahulu agar dapat digunakan. Afiks atau imbuhan adalah semacam morfem nondasar yang secara struktural dilekatkan pada kata dasar atau bentuk dasar untuk membentuk kata-kata baru (Keraf, 1991:121). Dengan kata lain, afiks atau imbuhan melekat pada kata dasar. Afiks atau imbuhan yang melekat pada kata dasar ini akan membentuk kata baru sehingga makna dan fungsinya menjadi berbeda dengan kata dasarnya.
Afiks juga dibagi berdasarkan tempat unsur itu dilekatkan pada kata dasar. Dalam hal ini, Keraf (1991:121) membaginya menjadi prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran), konfiks, bentuk ulang (reduplikasi).

(1)     Kata Berprefiks (berawalan)
Kata yang telah mendapatkan bentuk awalan disebut kata berprefiks. Prefiks (awalan) adalah sebuah morfem nondasar yang secara struktural dilekatkan pada awal sebuah kata dasar atau bentuk dasar (Keraf, 1991:122). Dengan kata lain, prefiks adalah imbuhan yang letaknya di awal kata. Bahkan dalam sebuah kata bisa dilekatkan dua prefiks sekaligus, misalnya mem-per-satukan, dan di-per-hatikan.
Bentuk prefiks (awalan) yang ada dalam Bahasa Indonesia yaitu prefiks ber-, per-, me-, di-, ter-, ke- se- dan pe-, serta prefiks baru. Prefiks baru merupakan prefiks yang dipengaruhi oleh unsur-unsur bahasa asing, seperti prefiks a dan tak, ante dan purba, prae dan pra, antidan prati, auto dan swa, inter dan antar, re dan ulang, bi dan dwi, pasca dan anu, serba, maha, serta prefiks tuna. Contoh kata berprefiks antara lain berlari, percepat, memakan, dilihat, terbawa, kekasih, sebotol, pemalas, dan sebagainya.
(2)     Kata Berinfiks (bersisipan)
Kata berinfiks merupakan yang kata mendapatkan bentuk sisipan. Infiks atau sisipan adalah morfem nondasar yang dilekatkan di tengah sebuah kata, yaitu antara konsonan yang mengawali sebuah kata dengan vokal berikutnya (Keraf, 1991:136). Ada tiga macam infiks dalam Bahasa Indonesia yaitu infiks -el, -em, dan -er.
Infiks (sisipan) -el, -em, dan -er tidak mempunyai variasi bentuk dan bukan merupakan imbuhan yang produktif, maksudnya tidak digunakan lagi untuk membentuk kata-kata baru dan hanya berlangsung hanya pada kata-kata tertentu saja. Pengimbuhannya dilakukan dengan cara menyisipkan di antara konsonan dan vokal suku pertama pada sebuah kata dasar. Contoh kata berinfiks antara lain telapak yang berasal dari kata dasar tapak, gerigi berasal dari kata dasar gigi, dan temali berasal dari kata dasar tali.
(3)     Kata Bersufiks (berakhiran)
Kata bersufiks adalah kata yang mendapatkan bentuk akhiran. Sufiks atau akhiran merupakan morfem nondasar yang dilekatkan pada akhir sebuah kata dasar. Sufiks yang ada dalam Bahasa Indonesia adalah -kan, -i, -an, dan -nya serta beberapa sufiks serapan seperti -man, -wan, -wati, -wi, -al, dan -if.    
Sufiks atau akhiran -kan, -i, -an dan -nya tidak mempunyai variasi bentuk, sehingga untuk situasi dan kondisi manapun bentuknya sama. Ada dua macam -nya dalam Bahasa Indonesia yang perlu diperhatikan, yaitu -nya sebagai kata ganti orang ketiga tunggal yang berlaku obyek atau pemilik dan ­-nya sebagai akhiran. Contoh kata yang bersufiks antara lain gunakan, surati, tulisan, obatnya, dan sebagainya.
(4)     Kata Berkonfiks
Konfiks merupakan gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan (Alwi, 2003:32). Dengan demikian, kata yang mendapatkan bentuk prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) disebut dengan kata yang berkonfiks. Konfiks dalam Bahasa Indonesia terdiri dari ber-kan, ber-an, per-kan, per-i, me-kan, me-i, memper-, memper-kan, memper-i, di-kan, di-i, diper-, diper-kan, diper-i, ter-kan, ter-i, ke-an, se-nya, pe-an, dan per-an. Contoh kata yang berkonfiks antara lain bersenjatakan, berdatangan, percetakan, perbaiki, membacakan, dan sebagainya.
Konfiks bersifat morfem terbelah (Keraf, 1991:144). Artinya, prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) dilekatkan sekaligus pada awal dan akhir kata dasar. Sifat inilah yang membedakan konfiks dengan imbuhan gabung. Dalam konfiks, prefiks dan sufiks dilekatkan pada kata dasar secara bersamaan. Sedangkan pada imbuhan gabung, prefiks dan sufiks dilekatkan secara bertahap.
Kata kehujanan misalnya, dibentuk dari kata dasar hujan dan konfiks ke-an yang diimbuhkan secara serentak. Lain halnya dengan kata berpakaian. Kata berpakaian dibentuk dengan menambahkan sufiks ­-an pada kata dasar pakai sehingga terbentuk kata pakaian. Sesudah itu barulah diimbuhkan prefiks ber-. Jadi, ke-an pada kata kehujanan adalah konfiks, sedangkan ber-an pada kata berpakaian merupakan imbuhan gabung.

2.2.3.1.2        Kata Ulang (Reduplikasi)
Reduplikasi disebut juga bentuk ulang atau kata ulang. Keraf (1991:149) mendefinisikan bentuk ulang sebagai sebuah bentuk gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk dasar sebuah kata. Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam bentuk ulang. Pengulangan dapat dilakukan terhadap kata dasar, kata berimbuhan, maupun kata gabung.
Kata yang terbentuk dari hasil proses pengulangan dikenal dengan nama kata ulang. Chaer (2006:286) membagi kata ulang berdasarkan hasil pengulangannya, yaitu
(1)     Kata ulang utuh atau murni
Kata ulang utuh atau murni merupakan kata ulang yang bagian perulangannya sama dengan kata dasar yang diulangnya. Dengan kata lain, kata ulang utuh atau murni terjadi apabila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan seutuhnya. Misalnya pada kata rumah-rumah, pohon-pohon, pencuri-pencuri dan anak-anak.
(2)     Kata ulang berubah bunyi
Kata ulang berubah bunyi merupakan kata ulang yang bagian perulangannya mengalami perubahan bunyi, baik itu perubahan bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Kata ulang jenis ini terjadi apabila ada pengulangan pada seluruh bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi. Kata ulang berubah bunyi yang mengalami perubahan bunyi vokal misalnya pada kata bolak-balik, gerak-gerik, dan kelap-kelip. Sedangkan kata ulang berubah bunyi yang mengalami perubahan bunyi konsonan misalnya pada kata sayur-mayur, lauk-pauk, gerak gerik, kelap kelip dan ramah tamah.
(3)     Kata ulang sebagian
Kata ulang sebagian merupakan pengulangan yang dilakukan atas suku kata pertama dari sebuah kata. Dalam pengulangan jenis ini, vokal suku kata pertama diganti dengan vokal e pepet. Kata-kata yang mengalami pengulangan sebagian antara lain lelaki, leluhur, pepohonan dan tetangga.
(4)     Kata ulang berimbuhan
Kata ulang berimbuhan merupakan bentuk pengulangan yang disertai dengan pemberian imbuhan. Chaer (2006:287) membagi kata ulang berimbuhan berdasarkan proses pembentukannya menjadi tiga, yaitu (1) sebuah kata dasar mula-mula diberi imbuhan kemudian baru diulang, umpamanya kata aturan-aturan; (2) Sebuah kata dasar mula-mula diulang kemudian baru diberi imbuhan, misalnya kata lari yang mula-mula diulang sehingga menjadi lari-lari kemudian diberi awalan ber- sehingga menjadi berlari-lari; (3) sebuah kata diulang sekaligus diberi imbuhan, umpamanya kata meter yang sekaligus diulang dan diberi awalan ber- sehingga menjadi bentuk bermeter-meter.  

2.2.3.1.3        Kata Majemuk (Kompositum)
Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 1991:154). Masing-masing kata yang membentuk kata majemuk sebenarnya mempunyai makna sendiri-sendiri. Tetapi setelah kata tersebut bersatu, maka akan terbentuk kata baru yang maknanya berbeda dengan kata sebelumnya. Misalnya pada kata orang tua, saputangan, dan matahari.

2.2.3.1.4        Kata Dasar
Kata dasar adalah kata yang merupakan dasar pembentukan kata turunan atau kata berimbuhan. Kata dasar biasanya terdiri atas morfem dasar, misalnya pada kata kebun, anak, bawa, merah, pada, dari, dan sebagainya. Bentuk kata ini dapat diturunkan menjadi kata jadian atau kata turunan yang berupa kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk.
Kata dasar berbeda dengan bentuk dasar. Bentuk dasar adalah bentuk yang dijadikan landasan untuk tahap pembentukan kata berikutnya (Keraf, 1991:121). Misalnya kata mempelajari. Pada awalnya kata dasar pelajar yang sekaligus menjadi bentuk dasar, diberi sufiks -i sehingga menurunkan bentuk pelajari. Selanjutnya, bentuk dasar pelajari (bukan kata dasar lagi) diimbuhkan prefiks mem- sehingga terbentuk kata mempelajari. 
Selengkapnya